Selasa, 26 April 2011



Wisata Tempat Rahtawu

Wisata pegunungan Rahtawu merupakan suatu tempat yang terletak di kaki Gunung Muria sekitar 20 km dari Kota Kudus yang terletak di desa Rahtawu Kecamatan Gebog. Rahtawu ini memiliki pemandangan yang indah karena letaknya yang dikelilingi deretan pegunungan dan sungai-sungai yang masih jernih. Mata air sungai Kali Gelis berasal dari Rahtawu ini. Kawasan ini sangat cocok bagi para pelajar, remaja serta muda-mudi yang berhobi mendaki gunung dapat menyusuri jalan setapak menjelajahi medan pegunungan Rahtawu untuk menaklukkan Puncak “SONGOLIKUR”.

Selain memiliki wisata alam, Rahtawu mempunyai wisata budaya karena di rahtawu ini terdapat tempat-tempat pertapaan / petilasan dimana nama petilasan tersebut diambil dari beberapa cerita pewayangan, yaitu: Hyang Semar, Petilasan Abiyoso, Begawan Sakri, Lokojoyo, Dewi Kunthi, Makam Mbah Bunton, Hyang Pandan, Argojambangan, Jonggring Saloko dan Sendang Bunton



Wah good question nih Bos.

Rahtawu adalah sebuah gunung yang terletak berdampingan dengan gunung Muria.

Dahulu kala Konon katanya di Puncak Rahtawu - yaitu Puncak Songolikur ( Puncak 29 ) adalah pusat pertapaan para dewa yang selalu memberikan kedamaian dan rahmat di Bumi.

Apa hubungannya dengan Soto Kudus ? dengan ditambahkan Rahtawu harapannya adalah bisa memberikan manfaat dan rahmat kepada semuanya ; pemilik, karyawan dan masyarakat.

desarahtawu.blogspot.com– Obyek Wisata Alam / Eko Wisata “Rahtawu” terletak di sebelah Barat Pegunungan Muria, berjarak kurang lebih 20 km ke arah Barat Laut dari pusat kota Kudus (Alun-alun / Simpang Tujuh), lebih tepatnya lagi di Desa Rahtawu Kecamatan Gebog Kudus. Di kawasan Wisata Alam “Rahtawu” ini memiliki ketinggian ± 1.627 m di atas permukaan laut (dpl).

Di sini pengunjung dapat dengan leluasa menikmati panorama alam pegunungan yang asri dan indah mempesona dengan udaranya yang bersih, segar dan sejuk. Di Rahtawu terdapat banyak petilasan tokoh-tokoh dunia pewayangan, misalnya petilasan Begawan Sakri, Pandu Dewonoto, Dewi Kunti, Jonggring Saloko, Eyang Semar, Eyang Abiyoso, dll. Selain itu, para pelajar, remaja, dan pemuda-pemudi yang berhobi pecinta alam (penjelajahan alam, hiking, mendaki gunung, dll.) dapat menyusuri jalan setapak menjelajahi medan pegunungan Rahtawu untuk menaklukkan Puncak “Songo Likur”.

Fasilitas yang tersedia di Obyek Wisata “Rahtawu” adalah homestay, warung makan, pramuwisata/guide lokal, dan MCK air alami pegunungan yang sejuk dan bersih.

Jumat, 16 Apr 2010
Objek Wisata Rahtawu
Satu lagi wisata alam yang ditawarkan lereng Gunung Muria di wilayah Kabupaten Kudus, yakni objek wisata Rahtawu. Objek wisata alam yang berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat kota Kudus ini menawarkan perpaduan antara keindahan wisata alam pegunungan dan wisata religi.

Selain kesegaran dan keindahan alam pegunungan Muria, pengunjung dapat menikmati peninggalan sejarah berupa petilasan dari cerita pewayangan seperti, Hyang Pandan, Argojambangan, Jonggring Saloko, dan
sebagainya.

Objek wisata yang berada pada ketinggian sekitar 1.627 meter di atas permukaan laut ini juga menjadi salah satu tempat favorit bagi para pecinta alam dan olah raga mendaki gunung.

Puncak pengunungan Rahtawu yang disebut dengan puncak 'Songo Likur' menjadi tujuan para pecinta olah raga mendaki. Selain itu, bila pengunjung ingin sekadar menikmati kesejukan alam pegunungan, di sekitar objek wisata ini juga tersedia penginapan, restoran serta fasilitas wisata lainnya.

Senin, 04 April 2011


Satu Jembatan Rusak, Seorang Terseret
Peningkatan Debit Terjang Kawasan Rahtawu

Kudus, CyberNews. Hujan deras yang mengguyur lereng Gunung Muria dalam beberapa hari terakhir mulai mengancam wilayah tersebut. Seperti yang terjadi di Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog. Peningkatan debit sungai yang menghanyutkan batu-batuan besar merusak satu.

Tidak ada korban jiwa dari kejadian tersebut, hanya saja seorang petani dikabarkan sempat terseret sejauh 25 meter saat berada di tepi sungai. Sutarno (45), penduduk RT 2 RW 2 hanya mengalami lecet-lecet dan hanya dirawat jalan saja.

Menurut pantauan Suara Merdeka CyberNews sejak Jumat (1/4) pagi hingga siang, situasi pada kawasan atas tersebut memang cukup mencekam. Memasuki Desa Rahtawu, hujan deras seakan tidak pernah berhenti.

Padahal, kondisi seperti itu biasanya memicu potensi bencana seperti longsor dan banjir bandang.

Di perbatasan RT 7 dan RW 8 pada RW II, Jembatan Watu Putih melintang di atas sungai Gambir nyaris ambrol. Material berupa batu-batu besar yang turun bersama derasnya air sungai menghajar pondasi jembatan sehingga menimbulkan kerusakan.

"Jembatan rusak karena beberapa bagian diterjang batu-batu besar dari atas," kata Kepala Desa Rahtawu, Sugiyono.

Ditambahkannya, sarana penghubung tersebut menjadi satu-satunya akses keluar bagi 78 kepala keluarga di kedua RT itu. Sehingga, begitu cuaca sedikit membaik warga langsung bergotong royong menggeser beberapa batu besar yang ada di bawah jembatan.

Bila tindakan seperti itu tidak dilakukan, dikhawatirkan saat sungai digelontor debit dari atas, maka batuan tersebut akan kembali menghantam jembatan. "Satu jembatan rusak, dan tiga titik lainnya longsor di bantaran sungai,"


Jawa Tengah - Muria


Rahtawu Kaya Objek Petilasan

* Nanggap Wayang Dilarang

RAHTAWU, sebuah nama desa di lereng Gunung Muria masuk Kecamatan Gebog itu, bagi masyarakat Kudus dikenal banyak menyimpan misteri. Geografi desa tersebut memang unik. Yakni terdiri atas sebuah lembah hijau yang dikelilingi bukit-bukit terjal. Menuju kawasan itu hanya ada satu ruas jalan. Itu pun sangat berkelok dan berbahaya di musim penghujan.

Memasuki tahun baru Hijriah 1425, desa tersebut tak banyak berubah. Kehidupan masyarakatnya yang sebagian besar petani itu, tetap melaksanakan tugas mengolah pertanian. Padi dan kopi merupakan komoditas unggulan.

Namun, kondisi alam yang tidak ramah dengan banyaknya bencana tanah longsor mulai terjadi setiap tahun. Hutan di sekitar daerah Rahtawu sedikit demi sedikit gundul. Tak mengherankan jika desa tersebut selalu menjadi sasaran penghijauan pemerintah untuk pelestarian lingkungan.

Padahal di kawasan itu terletak salah satu mata air Kali Gelis, sebuah sungai yang cukup besar di Kudus.

Desa Petilasan

Sekitar tiga dasa warsa yang lalu (lebih 30 tahun-Red), Rahtawu merupakan sebuah desa yang sangat terisolir. Sebab, belum ada jalan poros desa. Roda empat pun tak bisa menuju ke desa itu, termasuk angkudes. Satu-satunya jalan adalah lewat jalan setapak. Pendatang harus rela berjalan kaki sekitar lima kilometer mulai dari Desa Menawan.

Berkat jasa Bupati Marwotosoeko, dengan tekad gugur gunung, jalan menuju desa tersebut sudah dilebarkan, sehingga Rahtawu menjadi seperti sekarang ini.

Meskipun lokasi tidak mudah dicapai, Rahtawu mempunyai daya tarik tersendiri bagi mereka yang suka melakukan ritual ziarah. Di kawasan Rahtawu banyak menyimpan petilasan (bukan makam-Red) dengan nama-nama tokoh pewayangan leluhur Pandawa. Sebut saja petilasan Eyang Sakri, Lokajaya, Pandu, Palasara, Abiyoso. Selain itu di sana juga ada kawasan yang diberi nama Jonggring Saloka dan Puncak Songolikur.

Baik Kepala Desa Sutrisno maupun Camat Gebog,Taram menyatakan tidak tahu mengapa di Rahtawu banyak tempat dengan nama leluhur Pandawa.

"Yang jelas petilasan itu banyak menarik minat orang untuk datang berziarah," ucap Taram. Terutama menjelang dan bertepatan dengan 1 Sura (1 Muharam).

Ketika jalan belum dilebarkan, daerah tersebut pernah menyimpan isu menarik yang entah siapa yang melontarkan. Di saat orang-orang ramai berjudi buntutan, pernah dihebohkan adanya seorang putri yang bertapa telanjang di Dukuh Semliro.

Kabar burung itu pun begitu cepat menyebar ke segala penjuru, sehingga orang datang berduyun-duyun naik ke Rahtawu. Karena saat itu bertepatan dengan bulan puasa, tidak menjadi penghalang. Memang benar, di tepi jalan di Semliro ada perempuan yang dianggap seorang putri bertapa telanjang. Banyak orang minta nomor buntut, bahkan ada yang menyembah-nyembah kepadanya.

Namun ketika diteliti aparat Polres, ternyata perempuan tersebut adalah orang yang terganggu jiwanya sehingga kemudian diamankan dan dibawa turun ke Kudus.

Memang, lingkungan Rahtawu yang berhawa dingin dan jauh dari keramaian merupakan daya tarik bagi yang suka laku prihatin.

Apalagi, dulu banyak warga mremo karena yang datang butuh makan dan minum. Namun, itu masa lalu. Sebab dengan adanya isu itu, Rahtawu menjadi marak dan perekonomian berkembang.

Tabu

Di setiap daerah biasanya ada pantangan tertentu. Di Rahtawu juga ada pantangan, yakni warga dilarang nanggap wayang kulit. Meski di sana banyak nama petilasan bernama leluhur Pandawa.

"Sampai sekarang tidak ada yang berani melanggar," kata Camat Taram dibenarkan Kades Sutrisno.

"Bila dilanggar, yang bersangkutan terkena bencana," tuturnya. Jadi kalau ada warga punya hajat, paling nanggap tayub, karena diperbolehkan.

Kesenian tayub juga selalu digemari warga setiap acara sedekah bumi. "Biasanya acara itu dilaksanakan Sabtu Kliwon, pada bulan Apit," kata Sutrisno. Tahun 2004 ini sudah dilaksanakan pada Januari lalu. Prosesi ritual itu dikatakan sebagai tradisi warga Rahtawu yang berjalan turun-temurun. "Maksudnya untuk memanjatkan doa kepada Tuhan dan minta keselamatan agar hasil bumi lebih banyak dari tahun lalu. Intinya hanya itu."

Dalam upacara tersebut semua warga serta tokoh desa diundang. Biasanya mereka juga tidak canggung ikut turun menari tayub. "Penari kita datangkan dari luar, ada tujuh orang. Kalau tak salah dari Jepara dan Pati," kata Sutrisno.

Rahtawu memang menyimpan banyak misteri. Dan seharusnya, baik ilmuwan Islam maupun juru dakwah tertarik dan mencari tahu bagaimana praktik Islam di sana. Apalagi, dinamika kehidupan warga di Rahtawu yang juga masih tradisional

mitos rahtawu

Wukir Rahtawu
oleh: HABIB KUDUS
--------------------------------------------------

Wukir Rahtawu merupakan gugus perbukitan Muria yang
berada di Kabupaten kudus. Jawa Tengah. Menurut
mitos, Wukir Rahtawu merupakan tempat pertapaan Resi
Manumayasa sampai kepada Begawan Abiyasa yang
merupakan leluhur Pandawa dan Korawa. Menurut cerita
babad dan parwa, konon leluhur raja-raja Jawa
merupakan keturunan dinasti Bharata juga. Sebuah
misteri yang membingungkan, memang.

Di Rahtawu terdapat banyak "petilasan pertapaan" yang
diyakini dahulu kala memang benar-benar merupakan
tempat bertapanya "para suci" yang oleh penduduk
setempat disebut "Eyang". Diantaranya :


Eyang Sakri (Bathara Sakri), di Desa Rahtawu.


Eyang Pikulun Narada dan Bathara Guru, di Joggring
Salaka, dukuh Semliro, desa Rahtawu.


Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara, di puncak gunung
"Abiyasa", ada yang menyebut "Sapta Arga".


Eyang Manik Manumayasa, Eyang Puntadewa, Eyang Nakula
Sadewa di lereng gunung "Sangalikur", di puncaknya
tempat pertapaan Eyang Sang Hyang Wenang (Wening) dan
sedikit ke bawah pertapaan Eyang Ismaya.


Eyang Sakutrem (Satrukem) di sendang di kaki gunung
"Sangalikur" sebelah timur.

Eyang Lokajaya (Guru Spirituil Kejawen Sunan Kalijaga,
menurut dongeng Lokajaya nama samaran Sunan Kalijaga
sebelum bertaubat), di Rahtawu.

Eyang Mada (Gajah Mada) dan Eyang (Romo) Suprapto,
berupa makam di dusun Semliro.

Semua "petilasan" (kecuali makam Eyang Mada) merupakan
"batu datar" yang diperkirakan sebagai tempat duduk
ketika bertapa (meditasi, semadi). Sayangnya, semua
petilasan tersebut telah dibuatkan bangunan dan dibuat
sedemikian rupa "sakral" dengan diberi bilik yang
tertutup dan dikunci. Pembukaan tutup dilakukan setiap
bulan Suro (Muharam) tanggal 1 s/d 10.

Di setiap petilasan dibuatkan suatu bilik khusus untuk
melakukan "ritual sesaji" dengan bunga dan pembakaran
dupa. Juga disediakan suatu ruangan cukup luas untuk
para pengunjung beristirahat dan menunggu giliran
untuk melakukan "ritual sesaji" maupun "ngalap berkah"
sambil tiduran dan ? kerokan.

Di Rahtawu pengaruh peradaban Hindu, Buddha dan Islam
tidak nampak jelas. Tidak ada jejak berupa bangunan
peribadatan (candi) Hindu dan Buddha. Bahkan tidak ada
arca maupun ornamen bangunan yang terbuat dari batu
berukir sebagaimana ditemukan di Dieng, Trowulan,
Lawu, dan tempat-tempat lainnya di Jawa. Bangunan
peribadatan berupa masjid ataupun langgar (mushalla)
merupakan bangunan baru buatan jaman ini. Maka
sesungguhnya mengundang suatu pemikiran, situs
peradaban apakah di Rahtawu tersebut ?

Meskipun semua "petilasan pertapaan" berkaitan dengan
nama-nama tokoh pewayangan (Mahabharata-Hindu), namun
di Rahtawu ditabukan untuk mengadakan pagelaran
wayang. Konon cerita para penduduk setempat, pernah
ada yang melanggar larangan tersebut, maka datang
bencana angin ribut yang menghancurkan rumah dan dukuh
yang mengadakan pagelaran wayang tersebut. Namun untuk
mendengarkan siaran wayang kulit dari pemancar radio,
kok tidak apa-apa.

Samar-samar terbersit pemahaman di benak penulis akan
kecerdikan dan ketegaran Jawa dalam berinteraksi
dengan berbagai peradaban pendatang di Rahtawu,
sebagai berikut :


Di puncak tertinggi (gunung "Sangalikur") adalah
"petilasan pertapaan Sang Hyang Wenang". Tempatnya
sepi kering tidak ada apa-apa alias suwung (tan kena
kinayangapa). Dibawahnya ada "petilasan pertapaan"
Resi Manik Manumayasa, Puntadewa (Darmakusuma), Nakula
Sadewa, dan Bathara Ismaya (Semar). Tokoh-tokoh
tersebut merupakan simbul personifikasi manusia
titisan dewa yang berwatak selalu menjalankan "laku
darma" pengabdian kepada Hyang Maha Agung. Atau
mengajarkan "laku-urip" yang religius. Bahkan Sang
Hyang Wenang merupakan salah satu nama dari sesembahan
(realitas tertinggi) Jawa. Bathara Ismaya merupakan
derivate (tajalli, emanasi) awal dari Sang Hyang
Wenang, menggambarkan cangkok atau emban (plasma kalau
diibaratkan pada sel hidup). Sedang Eyang Manik
Manuyasa kiranya merupakan nama lain dari Bathara
Manikmaya, yang juga merupakan derivate (tajalli,
emanasi) awal Sang Hyang Wenang, menggambarkan
kembang, permata atau wiji/benih (inti kalau
diibaratkan sel hidup). Sel hidup selalu terdiri dari
Inti dan Plasma yang tidak bisa dipisahkan. Demikian
pula kiranya konsep Jawa tentang "Urip" selalu terdiri
dari "Manikmaya" dan "Ismaya" yang juga tidak bisa
dipisahkan.

Puntadewa dan Nakula-Sadewa adalah tiga satria Pandawa
yang tidak pernah berperang. Puntadewa simbul
kesabaran, Nakula kecerdasan, dan Sadewa
kebijaksanaan. Bahkan kemudian dalam mitologi Jawa,
Sadewa adalah satria yang mampu meruwat Bethari Durga
yang serba jahat menjadi Bethari Uma yang welas-asih.
Petilasan ketiga satria Pandawa tersebut ditempatkan
di gunung "Sangalikur" dibawah Sang Hyang Wenang,
Bethara Manikmaya dan Bethara Ismaya, melambangkan
bahwa kesempurnaan manusia di hadapan Tuhan
(sesembahan) adalah kesadaran akan "sejatining urip",
yaitu yang merupakan gabungan Puntadewa (sabar),
Nakula (cerdik-pandai) dan Sadewa (arif bijaksana).


Puncak kedua di "gunung Abiyasa" merupakan "petilasan
pertapaan" Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara. Keduanya
merupakan maharesi yang tertinggi "kawruhnya".
Tempatnya juga sepi kering tidak ada apa-apa. Bahkan
jalan menuju tempat itu hanya ada satu. Untuk naik dan
turun melalui jalan yang sama. Sepertinya menyiratkan
bahwa jalan menuju puncak ketinggian "harkat spirituil
manusia" yang bisa dicapai adalah sebagai Resi Abiyasa
dan Resi Palasara yang hidup sunyi sepi namun tidak
meninggalkan keramaian dunia. Palasara dan Abiyasa
konon merupakan leluhur Pandawa. Meskipun hidup
sebagai resi (pendeta), namun keduanya terlibat
langsung dengan realitas hiup manusia di dunia.
Diantaranya terlibat perkara seks dalam arti untuk
regenerasi (berketurunan) manusia. Menurut ceritanya
pula, keduanya tidak menempati "etika agama" dalam hal
bercinta-asmara. Dan lebih kepada naluri alamiah yang
terekayasa oleh kebutuhan. Palasara bercinta-asmara
dengan Dewi Lara Amis (Durgandini) di dalam perahu
oleh akibat dorongan nafsu birahi keduanya, hingga
lahir Abiyasa (baik) dan saudara-saudaranya (jahat).
Abiyasa pun melakukan cinta-asmara dengan janda
adiknya oleh kebutuhan Hastinapura akan generasi
penerus. Maka petilasan Palasara dan Abiyasa tidak
dalam satu gunung dengan Sang Hyang Wenang mengandung
maksud, bahwa sesungguhnya untuk mencapai
"kesempurnaan harkat kemanusiaan" bisa dicapai juga
dengan memenuhi darma sebagai manusia secara alamiah,
meskipun darma tersebut mungkin kurang sejalan dengan
"norma kesusilaan" dan "etika keagamaan".

Petilasan Eyang Sakri, Eyang Sakutrem berada di kaki
gunung yang rendah. Keduanya juga maharesi leluhur
Pandawa. Petilasan pertapaannya berada dekat dengan
mata air (sendang), artinya lebih dekat berderajat
manusia katimbang dewa.

Petilasan Bathara Narada dan Bathara Guru di Joggring
Salaka (kahyangan para dewa) yang juga berada di kaki
gunung seolah menyiratkan pandangan Jawa, bahwa
sesungguhnya dewa-dewa juga titah dari Yang Maha Kuasa
sama dengan manusia. Dewa juga mempunyai kewajiban
ikut terlibat dalam mengatur keharmonisan semesta
(memayu hayuning bawana). Artinya, di Jawa, Bathara
Guru dan Bathara Narada bukan wajib disembah tetapi
disetarakan dengan manusia.

Begitulah penangkapan samar-samar penulis tentang
adanya petilasan pertapaan para Eyang (Hyang) di
Rahtawu. Untuk petilasan Eyang Lokajaya dan Makam
Eyang Mada, adalah suatu "punden" baru yang tidak ada
hubungannya dengan "petilasan pertapaan" paya Hyang
dan Resi.

Adapun bagaimana sejarah Rahtawu masih merupakan
misteri. Siapa pula yang menetapkan daerah itu menjadi
petilasan pertapaan, juga masih sulit untuk didapatkan
keterangan. Yang jelas sudah sejak jaman kuno Rahtawu
dianggap sebagai tempat petilasan pertapaan "para
suci". Mungkin dulunya mirip "Sungai Gangga" di India.
Atau semua itu adalah rekayasa para leluhur Jawa untuk
lebih meyakinkan bahwa yang menciptakan Mahabharata,
Resi Wiyasa, adalah Abiyasa yang tinggalnya di
Rahtawu, Jepara. Entahlah !

Kenyataan yang ada sekarang ini, Rahtawu menjadi
tempat untuk kepentingan "ngalap berkah" yang
bermacam-macam. Caranya juga bermacam-macam pula.
Nuansa spirituil religius Jawa sudah berbaur dengan
laku-budaya adat yang oleh berbagai pihak dianggap
klenik, tahayul dan syirik.

Perbukitan Muria memerlukan kajian mendalam. Ilmiah
maupun spirituil untuk menguak misterinya. Di tempat
itu juga ada makam Sunan Muria (salah satu Wali Sanga)
yang dikeramatkan pula oleh banyak orang Jawa yang
muslim. Maka dengan demikian di Muria ada dua tempat
wisata spirituil, Makam Sunan Muria (Islam) dan
Petilasan Pertapaan Rahtawu (Kejawen). Menurut yang
"muslim saleh", menyatakan bahwa Rahtawu tempat
berkumpulnya jin dan syaiton. Sebaliknya, kalangan
"kejawen" menyatakan kalau makam Eyang Mada dan makam
keramat lainnya (sesakti apapun yang dimakamkan) cuma
kuburan manusia biasa. Lhoh kok !

Begitulah kenyataan pergulatan antar peradaban di Jawa
baru mencapai tahap saling menganggap klenik, tahayul
dan syirik bagi pihak yang tidak sealiran. Memelas !