Sabtu, 14 November 2015

GALERI RAHTAWU

1# Jalan rahtawu 2# Menuju puncak 29 rahtawu 3# Sungai rahtawu 4# Menuju rahtawu 5# Suasana perjalanan rahtawu 6# Lokasi bersejarah rahtawu

KEELOKAN PUNCAK 29

Keelokan Puncak 29 Bagi para pecinta alam, menaklukkan puncak gunung Muria adalah suatu tantangan. Dari dalam kota maupun daerah lain, banyak yang mencoba mendaki puncak gunung Muria. Mendaki gunung merupakan kegiatan untuk mengasah ketajaman hati dan pikiran untuk menyatu dengan alam. Biasanya, para pendaki akan mwnghabiskan waktu sekitar satu hari satu malam untuk mencapai puncaknya. Memahami, berpikir positif, dan kegigihan adalah beberapa trik agar sampai pada tujuan. Kerja keras tersebut terbayar ketika dapat menancapkan bendera merah putih pada puncaknya. Menikmati sunrise di atas awan adalah kebahagiaan tersendiri pagi para pendaki puncak 29 di gunung Muria

RAHTAWUKU SEJUK

PUNCAK MURIA (PUNCAK SONGOLIKUR) Ini salah satu bangun terburuk sepanjang pendakianku. Di saat kelopak mata enggan terbuka dan tubuh masih ingin bermalas-malasan di atas kasur , saya dan satu teman mengawali perjalanan ke Dusun terakhir untuk melakukan pendakian ke Puncak Gunung Muria. Saat itu pukul 03.00 dini hari. Perjalanan dimulai dari Desa Robayan Kecamatan Kalinyamatan Kota Jepara menuju Desa Rahtawu Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus. Meskipun persiapan pendakian dilakukan seadanya, kami berdua tetap bersemangat untuk melupakan sejenak di hari kemenangan demi memuaskan nafsu untuk terus mengagumi dan menikmati ciptaan-Nya. Gunung Muria kurang begitu populer bagi para pendaki di banding gunung lainya di daerah Jawa Tengah. Gunung dengan ketinggian 1602m dpl ini terletak terpisah diantara saudara-saudaranya. Meskipun begitu, untuk mendakinya tidaklah mudah. Diperlukan perjuangan dan niat bersih untuk mencapai puncaknya. Banyak masyarakat lokal dan sekitarnya yang percaya bahwa Gunung Muria merupakan perwujudan suci Sunan Muria dan para pesakti lainya dalam menjalankan proses kehidupan sesuai dengan norma-norma agama. Dari kaki bukit hingga atap puncaknya banyak ditemukan area suci seperti makam,pertapaan dan bukti otentik lainnya yang masih terawat dengan baik. Sungguh besar kekayaan budaya dan berharap anak cucu kita masih bisa melihat secara langsung dinamika sejarah pada zaman dulu. Kembali ke cerita pendakian, setelah menempuh sekitar 1,5 jam perjalanan dengan roda dua, kami tiba di Dusun Semliro Desa Rahtawu. Bergegas sepeda motor kami titipkan di salah satu rumah penduduk. Tak ada persaratan khusus untuk mendaki Gunung Muria, ijin ala kadarnya sudah cukup untuk melakukan pendakian. Usai shalat Subuh di Musholla yang letaknya berdekatan dengan jalur utama untuk menuju rimba muria, kami bersiap mengawali petualangan. Medan yang sedikit lebar dengan kontur tanah kering dan padat, membuat langkah kaki cepat beradaptasi. Kanan dan kiri pemandangan masih terlihat samar meskipun warna hijau bebukitan sudah mulai terdeteksi oleh indra penglihatan saya. Tak perlu waktu yang lama untuk mencapai pos I, dengan berjalan santai cukup setengah jam saja mencapai lokasi ini yang ditandai semacam bangunan rumah kecil yang sedikit rusak. Secara perlahan mentari pagi sudah mulai menyepuhi dedaunan dan persawahan penduduk. Keremangan fajar sudah digantikan dengan cuaca terang, eloknya bebukitan sudah tampak jelas terlihat menambah saya semakin bersemangat untuk terus bergerak ke atas. Jalur yang cukup jelas serta cuaca teduh seolah mendukung pendakian dan mengantarkan kami tiba di Pos II. Tak kurang dari 50 menit waktu yang dibutuhkan, di Pos II ada semacam bangunan yang tak ada penghuninya dan biasanya dijadikan untuk berjualan jika memasuki hari-hari suci atau perayaan lainnya. Beristirahat sebentar sambil minum dan makan secukupnya membuat badan kembali bugar. Lepas pos ini, trek tajam harus dilewati untuk mencapai pos Bunton. Jalur naik turun bukit mirip roller coaster cukup menguras energi yang masih belum siap untuk diajak berpetualang. Beruntung tak kurang dari dua jam kami sudah sampai di Pos Bunton. Di area ini, merupakan tempat yang cocok untuk beristirahat atau bermalam sebelum melakukan pendakian ke Puncak. Ada tempat peristirahatan cukup nyaman yang dibangun oleh penduduk lereng Muria. Tempatnya lebar dan luas, terdapat sumber mata air jernih yang terus mengucur deras. Di beberapa titik terdapat pemandian atau istilah warga lokal menamainya sendang bunton yang dipercaya memberi khasiat yang luar biasa seperti awet muda,enteng jodoh, menyembuhkan beberapa penyakit, tolak balak maupun khasiat lainnya. Konon Sendang Bunton merupakan pertapaan Eyang Danang Joyo yang mempunyai kesaktian spritual tinggi dalam menjalankan ajaran agama islam. Tak heran banyak masyarakat yang sering berbondong-bondong hanya sekedar mandi,minum bahkan bertapa di lokasi ini untuk membuktikan khasiat sendang tersebut. Apalagi di bulan syuro atau hari suci lainnya, tempat ini dipastikan di padati oleh para penikmat alam dengan berbagai tujuan. Di hari-hari tertentu kadang ada beberapa penduduk lereng muria yang berjualan di sekitar Pos Bunton. Ibu Supinah diantaranya, wanita paruh baya dengan perawakan tubuh gemuk cukup kesohor sebagai penunggu setia untuk melayani para petualang sekedar melepas dahaga dan lapar. Hampir satu jam lamanya kami habiskan waktu disini, pendakian pun dilanjutkan kembali. Medan terjal nan sempit lebih mendominasi. Semakin berada di ketinggian pemandangan yang terlihat begitu memukau. Bentangan bukit muria yang hijau dari ujung selatan hingga ujung timur seakan mempercantik pesonanya. Setelah disuguhi eloknya alam Muria yang begitu luar biasa kami tiba di Pos empat. Di sekitar lokasi ini terdapat pertapaan Eyang Sakulo Dewo yang sangat di keramatkan. Melihat sekilas sambil mengamati secara seksama membuat nuansa aneh semakin terasa, ditambah adanya batuan besar di sekeliling menambah aura mistis begitu menyelimuti pos ini. Kami sengaja tak berlama-lama disini, perjalanan pun kami lanjutkan. Sesekali kami melewati jalur tanah merah dan terkadang digantikan dengan medan berbatuan yang silih berganti saya tapaki. Setengah jam perjalanan jalur sudah berganti dengan pohon ilalang dan rerumputan hijau yang sangat asri. Terlihat kiri dan kanan jalur jurang-jurang dalam yang maha indah. Pukul 11.00 siang kami sudah tiba di Pos V atau pos terakhir sebelum mencapai puncak. Di area ini terdapat pertapaan Eyang Pandu Dewonoto dengan batu besar dan semacam rumah kecil sebagai penanda khas pos ini. Lokasi ini sangat cocok untuk melihat seutuhnya bebukitan Gunung Muria. Mengabadikan setiap momen yang ada adalah cara yang tepat agar setiap sudut keindahannya tak terlewatkan. Dari pos ini sudah dekat dengan Puncak Muria atau lebih di kenal dengan Puncak Songolikur. Kurang lebih setengah jam perjalanan untuk sampai di puncak. Meskipun beberapa tanjakan tajam harus dilalui langkah kaki kami seakan sudah menyatu padu dengan alam muria. Detik-detik menjelang puncak semakin kentara, dua gapura merah laksana gerbang masuk istana cukup terlihat jelas menandakan tak berapa lama lagi saya akan menginjakkan di Puncak Songolikur. Sungguh pencapaian luar biasa yang sekian lama baru bisa singgah dan menikmatinya. Memasuki area puncak terdapat beberapa gubug menyerupai rumah yang bisa di pergunakan sebagai tempat melepas lelah atau bahkan untuk bermalam ala kadarnya. Disekitar lokasi juga terdapat tiang pemancar radio lokal dan tempat pertapaan Sanghyang Wenang Sanghyang Wening yang masih terjaga dengan baik. Tak sampai disini saja, sesungguhnya untuk mencapai titik tertingginya kami harus berjalan lima menit lagi ke arah barat. Bentuk puncaknya yang sedikit memanjang dengan sekeliling ditumbuhi padang ilalang setengah meteran membuat pemandangan semakin mempesona . Dari titik triangulasi, kami terus menyusri sampai ujung puncaknya yang ditandai dengan banyaknya batuan besar sampai akhirnya menemukan pertapaan Eyang Semar yang begitu melagenda dalam sejarah pewayangan di Indonesia. Sungguh fantastis perjalananku, pemandangan spektakuler telah kudapatkan di titik ini. Duduk duduk di atas batu besar sambil memandang sekeliling serasa hidup dalam kedamaian yang tiada henti. Sayang seribu sayang saya tak bisa menyambangi sekaligus beberapa puncak tertinggi muria seperti Puncak Abiyoso, Argowiloso dan Argojembangan yang begitu jelas terlihat dari Puncak Songolikur. Akhir kata hanya untaian dan bisikan mesra yang bisa kusampaikan pada tiupan angin agar bisa membahana ke seantero alam muria, semoga ikatan batin yang terjalin bisa membawaku kembali ke sini.(cerita dari pendaki)

Desa Wisata Rahtawu

Desa Wisata Rahtawu Desa Wisata Rahtawu Rahtawu adalah desa di kecamatan Gebog, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Banyak petilasan disana. Rahtawu terletak di daerah paling atas dari Kecamatan Gebog, Kudus. Di desa Rahtawu juga memiliki potensi wisata yang sangat menarik. Di kawasan ini, dengan ketinggian ± 1.627 m dari permukaan air laut, kita dapat menikmati panorama alam pegunungan yang asri dan indah mempesona dengan udara yang bersih, segar dan sejuk. Di desa ini terdapat gunung yang terkenal dengan sebutan Wukir Rahtawu. Gunung ini terletak di sebelah gunung Muria. Letak geografis desa Rahtawu sendiri seharusnya bisa menarik minat masyarakat untuk melakukan wisata. Bagi para pecinta alam (penjelajahan alam, hiking, dll.) dapat menyusuri jalan setapak menjelajahi medan pegunungan Rahtawu untuk menaklukkan puncak gunung wukir yang disebut dengan puncak Songo Likur. Selain itu, di kawasan itu juga terdapat mata air sungai yang cukup besar di Kudus, yaitu mata air Kali Gelis.

Suasana Alam Pegunungan