Senin, 04 April 2011



Jawa Tengah - Muria


Rahtawu Kaya Objek Petilasan

* Nanggap Wayang Dilarang

RAHTAWU, sebuah nama desa di lereng Gunung Muria masuk Kecamatan Gebog itu, bagi masyarakat Kudus dikenal banyak menyimpan misteri. Geografi desa tersebut memang unik. Yakni terdiri atas sebuah lembah hijau yang dikelilingi bukit-bukit terjal. Menuju kawasan itu hanya ada satu ruas jalan. Itu pun sangat berkelok dan berbahaya di musim penghujan.

Memasuki tahun baru Hijriah 1425, desa tersebut tak banyak berubah. Kehidupan masyarakatnya yang sebagian besar petani itu, tetap melaksanakan tugas mengolah pertanian. Padi dan kopi merupakan komoditas unggulan.

Namun, kondisi alam yang tidak ramah dengan banyaknya bencana tanah longsor mulai terjadi setiap tahun. Hutan di sekitar daerah Rahtawu sedikit demi sedikit gundul. Tak mengherankan jika desa tersebut selalu menjadi sasaran penghijauan pemerintah untuk pelestarian lingkungan.

Padahal di kawasan itu terletak salah satu mata air Kali Gelis, sebuah sungai yang cukup besar di Kudus.

Desa Petilasan

Sekitar tiga dasa warsa yang lalu (lebih 30 tahun-Red), Rahtawu merupakan sebuah desa yang sangat terisolir. Sebab, belum ada jalan poros desa. Roda empat pun tak bisa menuju ke desa itu, termasuk angkudes. Satu-satunya jalan adalah lewat jalan setapak. Pendatang harus rela berjalan kaki sekitar lima kilometer mulai dari Desa Menawan.

Berkat jasa Bupati Marwotosoeko, dengan tekad gugur gunung, jalan menuju desa tersebut sudah dilebarkan, sehingga Rahtawu menjadi seperti sekarang ini.

Meskipun lokasi tidak mudah dicapai, Rahtawu mempunyai daya tarik tersendiri bagi mereka yang suka melakukan ritual ziarah. Di kawasan Rahtawu banyak menyimpan petilasan (bukan makam-Red) dengan nama-nama tokoh pewayangan leluhur Pandawa. Sebut saja petilasan Eyang Sakri, Lokajaya, Pandu, Palasara, Abiyoso. Selain itu di sana juga ada kawasan yang diberi nama Jonggring Saloka dan Puncak Songolikur.

Baik Kepala Desa Sutrisno maupun Camat Gebog,Taram menyatakan tidak tahu mengapa di Rahtawu banyak tempat dengan nama leluhur Pandawa.

"Yang jelas petilasan itu banyak menarik minat orang untuk datang berziarah," ucap Taram. Terutama menjelang dan bertepatan dengan 1 Sura (1 Muharam).

Ketika jalan belum dilebarkan, daerah tersebut pernah menyimpan isu menarik yang entah siapa yang melontarkan. Di saat orang-orang ramai berjudi buntutan, pernah dihebohkan adanya seorang putri yang bertapa telanjang di Dukuh Semliro.

Kabar burung itu pun begitu cepat menyebar ke segala penjuru, sehingga orang datang berduyun-duyun naik ke Rahtawu. Karena saat itu bertepatan dengan bulan puasa, tidak menjadi penghalang. Memang benar, di tepi jalan di Semliro ada perempuan yang dianggap seorang putri bertapa telanjang. Banyak orang minta nomor buntut, bahkan ada yang menyembah-nyembah kepadanya.

Namun ketika diteliti aparat Polres, ternyata perempuan tersebut adalah orang yang terganggu jiwanya sehingga kemudian diamankan dan dibawa turun ke Kudus.

Memang, lingkungan Rahtawu yang berhawa dingin dan jauh dari keramaian merupakan daya tarik bagi yang suka laku prihatin.

Apalagi, dulu banyak warga mremo karena yang datang butuh makan dan minum. Namun, itu masa lalu. Sebab dengan adanya isu itu, Rahtawu menjadi marak dan perekonomian berkembang.

Tabu

Di setiap daerah biasanya ada pantangan tertentu. Di Rahtawu juga ada pantangan, yakni warga dilarang nanggap wayang kulit. Meski di sana banyak nama petilasan bernama leluhur Pandawa.

"Sampai sekarang tidak ada yang berani melanggar," kata Camat Taram dibenarkan Kades Sutrisno.

"Bila dilanggar, yang bersangkutan terkena bencana," tuturnya. Jadi kalau ada warga punya hajat, paling nanggap tayub, karena diperbolehkan.

Kesenian tayub juga selalu digemari warga setiap acara sedekah bumi. "Biasanya acara itu dilaksanakan Sabtu Kliwon, pada bulan Apit," kata Sutrisno. Tahun 2004 ini sudah dilaksanakan pada Januari lalu. Prosesi ritual itu dikatakan sebagai tradisi warga Rahtawu yang berjalan turun-temurun. "Maksudnya untuk memanjatkan doa kepada Tuhan dan minta keselamatan agar hasil bumi lebih banyak dari tahun lalu. Intinya hanya itu."

Dalam upacara tersebut semua warga serta tokoh desa diundang. Biasanya mereka juga tidak canggung ikut turun menari tayub. "Penari kita datangkan dari luar, ada tujuh orang. Kalau tak salah dari Jepara dan Pati," kata Sutrisno.

Rahtawu memang menyimpan banyak misteri. Dan seharusnya, baik ilmuwan Islam maupun juru dakwah tertarik dan mencari tahu bagaimana praktik Islam di sana. Apalagi, dinamika kehidupan warga di Rahtawu yang juga masih tradisional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar